Masih teringat jelas di masing-masing benak kita tentang peristiwa penggusuran yang menimpa saudara-saudara kita yang telah berdagang puluhan tahun di wilayah Barito, Pemprov DKI Jakarta menganggap mereka menempati wilayah yang seharusnya menjadi taman kota dan menganggap keberadaan mereka sebagai tindakan ilegal.
Sebuah tragedi yang ironis memang, ketika keberadaan sekelompok pedagang yang sudah puluhan tahun di suatu wilayah dan selalu membayar retribusi kepada pemerintah provinsi sebagai tanda ketaatan mereka terhadap hukum dianggap sebuah tindakan yang ilegal dan harus ditertibkan demi “keindahan” kota Jakarta. Dapat dibayangkan bila satu kios kita anggap dapat menyerap dua orang pekerja, berapa orang yang kini hanya bisa menggigit jari ketika tempat mereka mencari sesuap nasi tiba-tiba “digasak” oleh petugas. Pertanyaannya adalah apakah keadaan ini sejalan dengan janji pemerintah dalam pemberantasan pengangguran di Indonesia? Apakah wilayah perniagaan yang telah ada puluhan tahun ini benar-benar mengganggu keindahan kota? Atau mungkin ini hanya karena mereka dianggap tidak memberikan “pemasukan” yang cukup bila dibandingkan para pengusaha bermodal besar dengan bangunan toko yang lebih kokoh dan mewah di atas ratusan bahkan ribuan hektar daerah resapan air seperti di Kelapa Gading misalnya?
Masalah-masalah seperti ini akan selalu terjadi bila kita sebagai mahasiswa terlalu sibuk dengan urusan kita masing-masing, tanpa bermaksud untuk menghakimi dapat kita lihat kenyataan bahwasanya sebagian besar mahasiswa terlalu sibuk dengan urusan akademis di kampusnya sehingga isu-isu sosial yang seharusnya juga dapat menjadi “garapan” para intelektual muda Indonesia menjadi termarjinalkan, dan yang lebih berbahaya adalah semakin menurunnya kepekaan kita terhadap isu-isu sosial yang sebenarnya menjadi masalah yang harus kita hadapi kelak di kehidupan nyata.
Salah satu peran kita sebagai mahasiswa adalah kontrol sosial, yaitu ketika mahasiswa yang selama ini memiliki bekal moral dan intelektual dapat memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam mengontrol, mengingatkan, dan menyadarkan terkait isu-isu sosial baik ke pihak pemerintah selaku “pelayan” konstitusi maupun di tengah-tengah tatanan masyarakat selaku “majikan” konstitusi yang sepatutnya dilayani oleh pemerintah dan bukan dizolimi.
Namun apa yang terjadi, peristiwa penggusuran di Barito hanyalah secuil permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia. Masih ada kasus Lapindo yang menyengsarakan ribuan penduduk Sidoarjo belum lagi permasalahan kerusakan alam yang dibuatnya, ada kasus tindak kekerasan massal hampir di setiap daerah yang sedang mengadakan pilkada, ada pula bencan dari yang betul-betul disebabkan oleh alam sampai dengan bencana akibat ulah manusia Indonesia sendiri. Sudahkah kita sebagai mahasiswa tersentuh hatinya terhadap permasalahan-permasalahan ini, adakah getaran-getaran di dada untuk setidaknya mencoba memposisikan diri kita dalam permasalahan tersebut, atau yang lebih heroik sudahkah kita mencoba untuk melakukan hal-hal konkrit terkait masalah sosial yang ada, paling tidak yang terjadi di sekitar kita. Hanya di hati kita pertanyaan-pertanyaan ini dapat terjawab, namun hanya dengan langkah konkrit pula jawaban hati kita dapat bermanfaat.