Banyak grup teater baru yang bagus, tapi kurang dikenal.
Mengaca pada acara pemberian anugerah Federasi Teater Indonesia (FTI), ada sesuatu yang menggelitik yang perlu dicermati. Para penerima FTI Award tidak perlu diragukan lagi sumbangsihnya bagi dunia teater. Dari sisi itu, tak ada yang patut dipersoalkan.
WS Rendra jelas merupakan sosok pahlawan di bidang seni teater. Dialah yang menempatkan teater pada posisi yang semestinya. Wajar jika Anugerah Utama FTI diberikan kepadanya.
Kesembilan peraih gelar maestro juga punya alasan yang kuat menyandang gelar maestro. Mereka adalah Asrul Sani, Teguh Karya, Arifin C Noer, Usmar Ismail, Suyatna Anirun, Wahyu Sihombing, Tuti Indra Malaon, Rudjito, dan Djayakusuma. Merekalah yang merintis teater moderen di Indonesia.
Lantas, apa yang menggelitik? Coba saja cermati lebih seksama nama-nama tadi. Rendra sudah memasuki senja usia. Sedangkan, kesembilan maestro telah menghuni alam keabadian. Generasi muda?
Penggiat teater dari kalangan generasi muda sebetulnya banyak juga. Dindon WS, ketua Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mengungkap faktanya. ''Hampir tiap daerah, mulai dari Jakarta, Riau, hingga Sulawesi, punya kelompok teater yang bagus,'' katanya.
Di Jakarta, tiap wilayahnya juga punya kelompok teater yang benar-benar hidup. Sejumlah nama penggiatnya bisa disebut. ''Ada Bambang Priyadi, Manahan Hutahuruk, Malhamang Zam Zam, Edi Yan, dan Agus Smoke,'' urai Dindon.
Di luar Jakarta, kelompok teater cukup banyak. Hanindawan (Teater Gidag Gidig, Solo), Yudi Tajudin (Teater Garasi, Yogyakarta), Rachman Sabur (Teater Payung Hitam, Bandung) termasuk di antara para penggiat. ''Hanya saja, mereka kurang terekspos oleh media,'' sesal Dindon.
Penggiat teater di daerah, lanjut Dindon, sedikit kurang beruntung lantaran tak memiliki banyak sparing partner. Sebab, tokoh senior yang tinggal di luar Jakarta bisa dihitung dengan jari. ''Tetapi, bukan berarti secara kualitas teater di Jakarta lebih bagus.''
Tiap pekerja teater punya kekuatan yang khas. Tak semua sutradara mampu menulis naskah. ''Corak warna teater Indonesia juga dimeriahkan dengan ekspresi artistik serta ideologi kesenian yang berbeda,'' komentar Dindon.
Meski luput dari sorotan media, penulis naskah maupun sutradara teater terus tumbuh. Bisa dipastikan, tak ada pembinaan yang diperlukan untuk menyuburkan bibit-bibit muda tersebut. ''Di dunia teater, kami tak mengenal pembinaan. Yang ada, membina diri sendiri,'' cetus Dindon.
Pembinaan macam apapun diamati Dindon tidak akan membuahkan penggiat teater. Mereka yang ingin menjadi pekerja teater mesti maju, mencerdaskan diri, serta mengasah kepekaannya sendiri. ''Pekerja teater tidak bisa dicetak atau dipupuk.''
Meski begitu, Dindon tak menampik perlunya pembinaan dalam bentuk lain. Seperti yang dilakukan Komite Teater DKJ. ''Pembinaan paling sebatas memberikan sarana dan membuka lingkungan untuk menstimulasi perkembangan dunia teater.''
Ratna Sarumpaet sepakat dengan pemikiran tersebut. Hanya saja, mantan ketua Komite Teater DKJ itu menyayangkan belakangan tak lagi muncul figur-figur baru penggiat teater. ''Setelah Dindon, sepertinya rantai penggerak teater terputus,'' sesalnya.
Ratna tak mengerti mengapa fenomena itu terjadi. Padahal, ia lihat kelompok-kelompok teater masih terus bergeliat. ''Karya generasi muda memang ada yang bagus. Namun, mereka belum bisa mengekspresikan diri lebih, di luar dunia kesenian. Justru itulah yang dibutuhkan untuk menjadi seorang dramawan handal,'' komentar pendiri Teater Satu Merah Panggung.
Melihat kecenderungan pemikiran pendukung teater, hati Ratna teriris. Pasalnya, cukup banyak orang yang terjun ke dunia teater dengan harapan bisa menjadi pemain sinetron atau film. ''Teater cuma dianggap sebagai batu loncatan.''
Federasi Teater Indonesia (FTI) termasuk organisasi yang getol melakukan pembinaan insan teater. Aktivisnya malah tak ragu menggandeng kalangan profesional non seniman untuk bermain teater sekaligus mempopulerkan teater. ''Secara berkala kami juga melakukan pementasan sebagai bentuk uji coba. Ini semacam laboratorium teater. Pemain nantinya akan mendapatkan masukkan yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas permainan mereka,'' kata Radhar Panca Dahana, ketua FTI, beberapa waktu lalu.
FTI, lanjut Radhar, juga kerap mengadakan workshop. Keberadaan FTI yang digagas oleh para penggiat teater di Jabodetabek pada akhir 2004 dianggap penting. ''Federasi ini bertujuan untuk memajukan teater Indonesia yang memang tak mengalami kemajuan. FTI bekerja membantu organisasi pementasan, peningkatan kemampuan aktor, serta mencoba memperlancar interaksi dengan institusi pemerintah,'' ujarnya.
Seni teater memang belum begitu populer di masyarakat. Padahal, begitu diperkenalkan, ada saja orang yang kemudian jatuh cinta kepada seni pertunjukkan ini. Pengalaman Adnan Ilham membuktikannya.
Adnan mengaku, dalam 29 tahun usianya, baru sekali ia menonton teater. Kesempatan pertama diperolehnya secara tak sengaja. Sepulang kerja, seorang temannya mengajak Adnan mampir ke Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Malam itu (18/3), Mahkamah --buah karya maestro teater, Asrul Sani-- dipentaskan.
Adnan terkesan dengan pementasan Mahkamah. Bukan cuma permainan Ray Sahatepy dan Mutiara Sani yang dikaguminya. ''Jalan ceritanya sangat menggelitik. Semestinya orang dapat mengambil manfaat dari kisah Saiful Bahri, si tokoh utama. Sayang, penonton seperti belum ter-edukasi,'' katanya.
Meski baru sekali melihat pentas teater, Adnan bisa bertutur kritis tentang etika menonton teater. Ia menyamakannya dengan pertunjukkan orkestra yang jauh lebih dipahaminya. ''Saya pikir semestinya tak berbeda jauh dengan orkestra. Ada aturan kapan harus bertepuk tangan dan larangan bersuara keras,'' katanya.(reiny dwinanda )
Mengaca pada acara pemberian anugerah Federasi Teater Indonesia (FTI), ada sesuatu yang menggelitik yang perlu dicermati. Para penerima FTI Award tidak perlu diragukan lagi sumbangsihnya bagi dunia teater. Dari sisi itu, tak ada yang patut dipersoalkan.
WS Rendra jelas merupakan sosok pahlawan di bidang seni teater. Dialah yang menempatkan teater pada posisi yang semestinya. Wajar jika Anugerah Utama FTI diberikan kepadanya.
Kesembilan peraih gelar maestro juga punya alasan yang kuat menyandang gelar maestro. Mereka adalah Asrul Sani, Teguh Karya, Arifin C Noer, Usmar Ismail, Suyatna Anirun, Wahyu Sihombing, Tuti Indra Malaon, Rudjito, dan Djayakusuma. Merekalah yang merintis teater moderen di Indonesia.
Lantas, apa yang menggelitik? Coba saja cermati lebih seksama nama-nama tadi. Rendra sudah memasuki senja usia. Sedangkan, kesembilan maestro telah menghuni alam keabadian. Generasi muda?
Penggiat teater dari kalangan generasi muda sebetulnya banyak juga. Dindon WS, ketua Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mengungkap faktanya. ''Hampir tiap daerah, mulai dari Jakarta, Riau, hingga Sulawesi, punya kelompok teater yang bagus,'' katanya.
Di Jakarta, tiap wilayahnya juga punya kelompok teater yang benar-benar hidup. Sejumlah nama penggiatnya bisa disebut. ''Ada Bambang Priyadi, Manahan Hutahuruk, Malhamang Zam Zam, Edi Yan, dan Agus Smoke,'' urai Dindon.
Di luar Jakarta, kelompok teater cukup banyak. Hanindawan (Teater Gidag Gidig, Solo), Yudi Tajudin (Teater Garasi, Yogyakarta), Rachman Sabur (Teater Payung Hitam, Bandung) termasuk di antara para penggiat. ''Hanya saja, mereka kurang terekspos oleh media,'' sesal Dindon.
Penggiat teater di daerah, lanjut Dindon, sedikit kurang beruntung lantaran tak memiliki banyak sparing partner. Sebab, tokoh senior yang tinggal di luar Jakarta bisa dihitung dengan jari. ''Tetapi, bukan berarti secara kualitas teater di Jakarta lebih bagus.''
Tiap pekerja teater punya kekuatan yang khas. Tak semua sutradara mampu menulis naskah. ''Corak warna teater Indonesia juga dimeriahkan dengan ekspresi artistik serta ideologi kesenian yang berbeda,'' komentar Dindon.
Meski luput dari sorotan media, penulis naskah maupun sutradara teater terus tumbuh. Bisa dipastikan, tak ada pembinaan yang diperlukan untuk menyuburkan bibit-bibit muda tersebut. ''Di dunia teater, kami tak mengenal pembinaan. Yang ada, membina diri sendiri,'' cetus Dindon.
Pembinaan macam apapun diamati Dindon tidak akan membuahkan penggiat teater. Mereka yang ingin menjadi pekerja teater mesti maju, mencerdaskan diri, serta mengasah kepekaannya sendiri. ''Pekerja teater tidak bisa dicetak atau dipupuk.''
Meski begitu, Dindon tak menampik perlunya pembinaan dalam bentuk lain. Seperti yang dilakukan Komite Teater DKJ. ''Pembinaan paling sebatas memberikan sarana dan membuka lingkungan untuk menstimulasi perkembangan dunia teater.''
Ratna Sarumpaet sepakat dengan pemikiran tersebut. Hanya saja, mantan ketua Komite Teater DKJ itu menyayangkan belakangan tak lagi muncul figur-figur baru penggiat teater. ''Setelah Dindon, sepertinya rantai penggerak teater terputus,'' sesalnya.
Ratna tak mengerti mengapa fenomena itu terjadi. Padahal, ia lihat kelompok-kelompok teater masih terus bergeliat. ''Karya generasi muda memang ada yang bagus. Namun, mereka belum bisa mengekspresikan diri lebih, di luar dunia kesenian. Justru itulah yang dibutuhkan untuk menjadi seorang dramawan handal,'' komentar pendiri Teater Satu Merah Panggung.
Melihat kecenderungan pemikiran pendukung teater, hati Ratna teriris. Pasalnya, cukup banyak orang yang terjun ke dunia teater dengan harapan bisa menjadi pemain sinetron atau film. ''Teater cuma dianggap sebagai batu loncatan.''
Federasi Teater Indonesia (FTI) termasuk organisasi yang getol melakukan pembinaan insan teater. Aktivisnya malah tak ragu menggandeng kalangan profesional non seniman untuk bermain teater sekaligus mempopulerkan teater. ''Secara berkala kami juga melakukan pementasan sebagai bentuk uji coba. Ini semacam laboratorium teater. Pemain nantinya akan mendapatkan masukkan yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas permainan mereka,'' kata Radhar Panca Dahana, ketua FTI, beberapa waktu lalu.
FTI, lanjut Radhar, juga kerap mengadakan workshop. Keberadaan FTI yang digagas oleh para penggiat teater di Jabodetabek pada akhir 2004 dianggap penting. ''Federasi ini bertujuan untuk memajukan teater Indonesia yang memang tak mengalami kemajuan. FTI bekerja membantu organisasi pementasan, peningkatan kemampuan aktor, serta mencoba memperlancar interaksi dengan institusi pemerintah,'' ujarnya.
Seni teater memang belum begitu populer di masyarakat. Padahal, begitu diperkenalkan, ada saja orang yang kemudian jatuh cinta kepada seni pertunjukkan ini. Pengalaman Adnan Ilham membuktikannya.
Adnan mengaku, dalam 29 tahun usianya, baru sekali ia menonton teater. Kesempatan pertama diperolehnya secara tak sengaja. Sepulang kerja, seorang temannya mengajak Adnan mampir ke Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Malam itu (18/3), Mahkamah --buah karya maestro teater, Asrul Sani-- dipentaskan.
Adnan terkesan dengan pementasan Mahkamah. Bukan cuma permainan Ray Sahatepy dan Mutiara Sani yang dikaguminya. ''Jalan ceritanya sangat menggelitik. Semestinya orang dapat mengambil manfaat dari kisah Saiful Bahri, si tokoh utama. Sayang, penonton seperti belum ter-edukasi,'' katanya.
Meski baru sekali melihat pentas teater, Adnan bisa bertutur kritis tentang etika menonton teater. Ia menyamakannya dengan pertunjukkan orkestra yang jauh lebih dipahaminya. ''Saya pikir semestinya tak berbeda jauh dengan orkestra. Ada aturan kapan harus bertepuk tangan dan larangan bersuara keras,'' katanya.(reiny dwinanda )
No comments:
Post a Comment