Monday, July 23, 2007

Kasus DCA: Haruskah Kedaulatan Ditukar dengan Koruptor

Indonesia telah menandatangani sebuah perjanjian internasional dengan Singapura, perjanjian ini selanjutnya disebut dengan DCA (Defense Cooperation Agreement). DCA berisi kerja sama militer antara Indonesia dengan Singapura yang konon disebut-sebut menguntungkan kedua belah pihak, di satu sisi Singapura memiliki teknologi perang yang canggih namun tidak memiliki ruang sebagai tempat uji coba dan latihan untuk mengembangkan teknologinya lebih jauh lagi, dan di sisi lain Indonesia masih tertinggal teknologi perangnya yang salah satunya diakibatkan oleh embargo AS kepada militer Indonesia yang baru-baru ini dicabut namun memiliki ruang yang lebih dari cukup bila hanya untuk latihan militer. Keadaan yang dimiliki oleh kedua Negara tersebut seolah menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi keduanya untuk tidak melakukan sebuah kerjasama di bidang militer.
Namun ada beberapa hal yang patut kita cermati sebagai rakyat di sebuah negara yang berdaulat penuh atas wilayahnya. Pertama, dalam DCA disebutkan bahwa Indonesia tidak diperbolehkan mengelola sumber daya alam yang terdapat di wilayah perairan tempat latihan yang secara nyata masih merupakan bagian dari wilayah NKRI yang biasa disebut dengan area Bravo. Bagaimana Negara Indonesia bisa disebut sebagai Negara yang berdaulat jika tidak dapat memanfaatkan kekayaan alam yang ada di dalam wilayahnya sendiri, dan yang juga tidak terlupakan adalah bagaimana nasib para nelayan yang biasa mencari ikan dan hasil laut lain yang ada di area Bravo tersebut? Bukankah ini merupakan suatu pembodohan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap bangsa kita?
Kedua, DCA bisa dibilang tidak pula berpihak kepada Indonesia karena di dalamnya hanya memuat aturan-aturan latihan perang bagi tentara Singapura di Indonesia tanpa adanya sedikitpun memuat aturan-aturan latihan perang bagi TNI di Singapura. Jika seperti ini kondisinya bagaimana dapat dipastikan bahwa TNI bisa mengambil banyak pelajaran dari teknologi canggih yang dimiliki Singapura bila tidak ada aturan latihan bagi TNI apalagi aturan untuk mendapatkan akses alat utama sistem persenjataan (Alutista) modern milik Singapura?
Ketiga, dengan adanya DCA ini otomatis begitu banyak perlengkapan militer Singapura yang canggih akan masuk ke dalam wilayah Indonesia, sehingga dengan sangat mudah pihak luar dapat mendeteksi dan mengintai segala rahasia pertahanan RI. Dan perlu digarisbawahi pula bahwa bukan rahasia lagi Singapura memiliki hubungan dekat dengan AS dan Israel, bahkan teknologi militer beserta intelejen yang dimiliki Singapura merupakan bantuan militer dari Israel, jadi tidak menutup kemungkinan kedua Negara tersebut dapat dengan leluasa memanfaatkan DCA untuk kepentingan mereka.
Adapun masalah yang berada diluar isi DCA yang patut juga untuk dicermati adalah keberanian pemerintah RI yang menandatangani DCA tanpa memberitahukan terlebih dahulu atau bahkan tanpa persetujuan DPR, sungguh keberanian yang terlalu pantas untuk dipertanyakan. Padahal jelas tertera pada UUD 1945 pasal 11 ayat (1) dan (2) yang mengatakan bahwa presiden harus meminta persetujuan DPR terhadap setiap perjanjian dengan negara lain yang terkait peperangan maupun perdamaian apalagi perjanjian yang (a) menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat (b) menyangkut keuangan negara (c) perjanjian itu mengharuskan adanya perubahan Undang-undang.
Mengapa pemerintah dapat se”nekat” itu dalam menandatangani DCA yang sebenarnya malah membahayakan kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat? mungkin ada kaitannya dengan usaha pemerintah dalam mengatasi korupsi di negara tercinta ini karena ternyata perjanjian Singapura-Indonesia tidak hanya sebuah DCA saja, bersamaan dengan DCA ternyata ditandatangani pula Perjanjian Ekstradisi yang dengan sengaja dipaketkan dengan DCA. Perjanjian Ekstradisi ini diharapkan dapat membuat para koruptor yang bersembunyi di Singapura kembali ke Indonesia untuk diadili. Namun lagi-lagi usaha pemerintah ini tidak menguntungkan Indonesia karena sesuai dengan pernyataan Menlu bahwa berdasarkan perjanjian ini tetap saja uang haram yang berasal dari Indonesia tidak dapat dikembalikan lagi ke Indonesia. Jadi dengan singkat dapat kita simpulkan bahwa kedaulatan Indonesia tercinta telah ditukar dengan jasad-jasad hidup para koruptor yang mungkin sudah tidak berguna lagi untuk diadili karena sudah tidak ada lagi uang rakyat yang dapat dikembalikan untuk mensejahterakan anak bangsa berikutnya.